20/05/2013

sejarah hijab di dunia


Tradisi menutup kepala dapat ditelusur dari bangsa Mesir Kuno yang memaknai rambut sebagai simbol kekuatan, keagungan dan kebanggaan. Mereka senantiasa memotong rambut secara total (botak) sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kepala yang tanpa rambut rentan terhadap sengatan panas sehingga membuat mereka menutupi kepalanya. Tradisi memotong rambut ini kemudian menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dicerna oleh peradaban yang saling berbeda termasuk Budha dan Hindu.
Dalam tradisi Nasrani, rambut tidak banyak dibahas. Mungkin karena ajaran Yesus lebih banyak menekankan esensi keberagamaan dan bukan simbol, maka beliau lebih banyak menekankan pada sentuhan hati dan nurani bukan pada bentuk dan penampilan. Kendati demikian Paulus dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Corinthius (Kitab 11: 4-14) pernah mengatakan sebagai berikut:
“Setiap laki-laki yang bersembahyang atau bersuci hendaklah menutup kepalanya dengan sesuatu, demikian juga dengan perempuan, hendaklah dia menutupinya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan itu adalah penghinaan maka haruslah ia menudungi kepalanya? Sebab, pantaskah seorang perempuan menyembah Tuhan dalam keadaan tidak bertutup kepala?”
Nampaknya Paulus terpengaruh tradisi masyarakat Romawi yang membolehkan laki-laki sembahyang tanpa menutup kepala namun di sisi lain dia masih berpegang pada tradisi Yahudi yang melarang perempuan menghadap Tuhan tanpa menutup kepala dengan kerudung atau penutup lainnya.
Rambut perempuan dalam pandangan Yahudi dan Nasrani, juga beberapa agama lain tidak dianggap aurat tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dengan perspektif ini tradisi menutup kepala bagi kaum perempuan dan laki-laki (dalam ajaran Yahudi) dan bagi perempuan (dalam ajaran Nasrani) merupakan simbol kerendahan hati dan ketundukan diri di hadapan Tuhan. Maka sampai sekarang kita masih melihat kaum agamawan Yahudi dan Nasrani menutup kepala mereka saat bersembahyang. Dan kalaupun tidak menutup kepala sebagai penggantinya mereka harus memotong rambut sebagaimana dipraktekkan para agamawan Hindu dan Budha.
Sedangkan dalam ajaran Islam, menutup kepala (terutama perempuan) dianggap oleh sebagian orang sebagai kewajiban agama sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian dari tradisi dalam berbusana (bukan kewajiban agama). Semasa Arab Jahiliyah, para perempuan biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada penutupnya. Imam Zarkasyi menguraikan bahwa para perempuan itu mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudungnya ke arah belakang sehingga bagian muka kelihatan. Lalu turunlah ayat tentang khimar atau kerudung:
“Wahai Nabi katakanlah kepada perempuan mukmin agar menundukkan pandangan, menjaga kehormatan dan tidak mempertontonkan perhiasan mereka kecuali yang sepantasnya tampak saja. Dan hendaklah mereka menjumbaikan khimar (kerudung) ke dada..”. QS An-Nur/24:31
Ayat ini menganjurkan agar lebih mengutamakan menutup dada sebagai ganti tradisi membiarkannya terbuka, tanpa maksud menetapkan jenis busana tertentu. Inilah simbol pembeda perempuan mukmin dan yang tidak.
Tradisi perempuan Arab untuk bersenang-senang, membiarkan muka mereka terlihat seperti budak dan oleh kondisi tertentu mereka membuang hajat di padang pasir, sebelum ada toilet di perumahan. Beberapa laki-laki sering berlaku buruk dengan beranggapan kalau mereka adalah budak  dan sering menggunakan para perempuan itu untuk kepentingan politik  dengan cara melecehkannya. Lantaran merasa diganggu, mereka melaporkan kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk menjadi pembeda antara perempuan mukmin merdeka dan budak.
“Wahai Nabi, sampaikanlah kepada isteri-isterimu, putri-putrimu dan perempuan mukmin agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk…”. QS Al-ahzab/33:59
Simbol pembeda ini dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka lebih mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jilbab didefinisikan sebagai pakaian yang lebih besar ketimbang khimar (kerudung) dan menutupi  tubuh (mantel). Sekarang, budak sudah dihapuskan sehingga rasanya relevansi pembedaan itu sudah tidak diperlukan lagi.


@ArizaEkky

1 comment: