A. Pengertian
Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian,
yakni al-‘aqdu dan al-‘ahdu. Kata al-‘aqdu terdapat dalam
QS. al-Maidah (5): 1.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ.
(المائدة: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia Kehendaki.”
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian,
dan pemufakatan (al-ittifaq).
Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan menurut Wahbah Az-zuhaily, yaitu
الربط بين
أطراف الشيء سواء أكان ربطًا حسييًا أم معنويًا من جانبٍ أو من جانبين
“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua
segi.”
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis
berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.
Kata al-‘ahdu terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76.
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى
فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ. (آل عمران: ٧٦)
“Sebenarnya barangsiapa menepati
janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang bertakwa.”
Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis
dalam KUH Perdata, karena istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat
kepada para pihak yang melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai
suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini
hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.
Pengertian
akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh,
ditinjau dari dua segi yaitu:
1.
Pengertian Umum
Pengertian akad
dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر
بإرادةٍ منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه
كالبيع والإيجار والتوكيل والرهن.
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai.”
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad
dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ بقبولٍ على وجهٍ
مشروعٍ يثبت أثره في محله.
“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Dalam mu’amalah (transaksi bisnis) istilah yang
paling umum digunakan adalah istilah al-‘aqdu. Karena dalam menjalankan
sebuah transaksi harus terjadi perikatan yang timbul dari kesepakatan dalam
sebuah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut
Abdoerrauf, suatu perikatan (al-‘aqdu) terjadi melalui tiga tahap,
yaitu:
1.
Al-‘Ahdu (perjanjian),
yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat
orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut.
2.
Persetujuan, yaitu pernyataan
setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
sebagai reaksi terhadap janji yag dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan
tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.
Apabila dua janji tersebut
dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah al-aqdu. Maka
yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi
al-‘ahdu melainkan al-‘aqdu.
Misalnya, Ahmad menyatakan janji bahwa
ia akan menjual sebuah rumah, kemudian Mahmud menyatakan janji bahwa ia akan
membeli sebuah rumah, maka dalam hal ini mereka berdua berada pada tahap al-‘ahdu.
Apabila mereka telah bersepakat mengenai harga rumah tersebut, maka terjadilah
persetujuan. Kemudian Mahmud memberikan uang muka sebagai tanda jadi untuk
membeli rumah Ahmad, maka terjadi perikatan (al-‘aqdu) di antara
keduanya.