A. Pengertian
Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian,
yakni al-‘aqdu dan al-‘ahdu. Kata al-‘aqdu terdapat dalam
QS. al-Maidah (5): 1.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ.
(المائدة: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia Kehendaki.”
Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian,
dan pemufakatan (al-ittifaq).[1]
Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seutas tali yang satu.[2]
Sedangkan menurut Wahbah Az-zuhaily, yaitu[3]
الربط بين
أطراف الشيء سواء أكان ربطًا حسييًا أم معنويًا من جانبٍ أو من جانبين
“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua
segi.”
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis
berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.[4]
Kata al-‘ahdu terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76.
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى
فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ. (آل عمران: ٧٦)
“Sebenarnya barangsiapa menepati
janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah Mencintai orang-orang yang bertakwa.”
Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis
dalam KUH Perdata, karena istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat
kepada para pihak yang melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat
disamakan dengan istilah overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai
suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini
hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.[5]
Pengertian
akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh,
ditinjau dari dua segi yaitu:[6]
1.
Pengertian Umum
Pengertian akad
dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini
dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:
كل ما عزم المرء على فعله سواءٌ صدر
بإرادةٍ منفردةٍ كالوقف والإبرء والطلاق واليمين أم إحتاج إلى إرادتين في إنشائه
كالبيع والإيجار والتوكيل والرهن.
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai.”
2.
Pengertian Khusus
Pengertian akad
dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:
إرتباط إيجابٍ بقبولٍ على وجهٍ
مشروعٍ يثبت أثره في محله.
“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Dalam mu’amalah (transaksi bisnis) istilah yang
paling umum digunakan adalah istilah al-‘aqdu. Karena dalam menjalankan
sebuah transaksi harus terjadi perikatan yang timbul dari kesepakatan dalam
sebuah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut
Abdoerrauf, suatu perikatan (al-‘aqdu) terjadi melalui tiga tahap,
yaitu:[7]
1.
Al-‘Ahdu (perjanjian),
yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat
orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut.
2.
Persetujuan, yaitu pernyataan
setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
sebagai reaksi terhadap janji yag dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan
tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.
Apabila dua janji tersebut
dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah al-aqdu. Maka
yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi
al-‘ahdu melainkan al-‘aqdu.
Misalnya, Ahmad menyatakan janji bahwa
ia akan menjual sebuah rumah, kemudian Mahmud menyatakan janji bahwa ia akan
membeli sebuah rumah, maka dalam hal ini mereka berdua berada pada tahap al-‘ahdu.
Apabila mereka telah bersepakat mengenai harga rumah tersebut, maka terjadilah
persetujuan. Kemudian Mahmud memberikan uang muka sebagai tanda jadi untuk
membeli rumah Ahmad, maka terjadi perikatan (al-‘aqdu) di antara
keduanya.
Para ulama fiqh telah
mengklasifikasikan jenis-jenis akad yang ditinjau dari berbagai segi, antara
lain:
1.
Dari segi keabsahannya menurut
syara’, maka akad dibagi menjadi dua:[8]
a.
Akad shahih
Akad yang telah memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Hukum dari akad shahih ini
adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad. Akad shahih menurut ulama Hanafi dan Maliki
terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad nafiz (sempurna untuk
dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannnya.
Misalnya,[9]
para pihak yang berakad memenuhi syarat kecakapan untuk melakukan akad jual
beli terhadap objek tertentu hukumnya sah, setelah terjadi kesepakatan.
2)
Akad mauquf, yaitu akad yang
dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki
kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu.
Misalnya, Ahmad memberi uang
sebesar Rp 1.000.000 kepada Mahmud untuk membeli seekor kambing. Ternyata di
tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor kambing,
sehingga Mahmud membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dua ekor kambing
ini amat bergantung kepada persetujuan karena Mahmud diperintahkan hanya
membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah dilakukan
Mahmud, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad, maka jual
beli tersebut tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual
beli mauquf ini sebagai jual beli
yang batil.
Dalam fiqh, akad diatas biasa
disebut dengan al-‘aqad al-fudhuli, yaitu akad yang keabsahannya berlaku
bila telah telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya (yang mewakili).
b.
Akad ghairu shahih
Akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi membagi akad ghairu
shahih itu menjadi dua macam, yaitu:
1)
Akad batil yaitu akad yang
tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’.
Misalnya, objek jusl beli itu tidak
jelas atau terdapat unsur tipuan (gharar), seperti menjual ikan dalam
lautan atau salah satu pihak tidak cakap bertindak hukum.
2)
Akad fasid adalah akad yang
pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.
Misalnya, menjual rumah yang tidak jelas tipe,
jenis, dan bentuknya, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan
pembeli. Jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang menyebabkan ke-fasid-annya
itu dihilangkan yakni dengan menjelaskan tipe, jenis dan bentuk rumah yang
dijual tersebut.
Akan tetapi,
jumhur ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad yang batil dan akad yang fasid
mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak
mengakibatkan akibat hukum apapun.
2.
Ditinjau dari segi penamaannya,
para ulama fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu:[10]
a.
Akad musammah yaitu akad
yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta dijelaskan hokum-hukumnya,
seperti jual bei, sewa menyewa, perkawinan, dsb.
b.
Akad ghairu musammah yaitu
akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka
di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’, dsb.
3.
Ditinjau dari segi disyariatkan
atau tidak, terbagi dua yaitu:[11]
a.
Akad musyara’ah yaitu
akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual harta yang ada
harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn.
b.
Akad mamnu’ah yaitu
akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam
kandungan.
4.
Ditinjau dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu:[12]
a.
Akad ‘ainiyah yaitu akad yang
objeknya berupa benda berwujud. Karena objeknya berupa benda, berarti hokum
asalnya adalah mubah selama tidak ada dalil-dalil yang mengharamkannya. Dalam
akad yang bersifat ‘ainiyah, kesempurnaan akad tergantung pada
penyerahan benda (‘ayn) sebagai objek akad. Misalnya dalam transaksi
jual beli, akad dikatakan sempurna apabila benda yang dijadikan objek
perdagangan teah diserahkan kepada para pihak.
b.
Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu
akad yang kesempurnaannya tergantung pada objek perbuatan seseorang (fi’il)
untuk melaksanakan akad. Pada akad ini, kesempurnaannya hanya didasarkan pada
bentuk perbuatan akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan objek
tertentu yang berupa benda. Karena objeknya berupa perbuatan, maka ketentuan
yang berlaku adalah kaidah fiqh yang menyatakan bahwa hokum asal perbuatan
manusia terikat dengan hokum syara’. Misalnya, benda yang diwakafkan otomatis
menjadi benda wakaf.
5.
Ditinjau dari bentuk atau cara
melakukan akad. Dari sudut ini, dibagi dua pula, yaitu:[13]
a.
Akad asy-Syakli, yaitu akad-akad
yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang
harus dilakukan dihadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang
atas tanah, yang oleh undang-undang mengharuskan hak itu dicatatkan di kantor
agraria.
b.
Akad ar-Radha’I, yaitu akad-akad
yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang tidak perlu di tempat
yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.
6.
Ditinjau dari dapat tidaknya
dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi empat macam:[14]
a.
Akad yang tidak dapat dibatalkan,
yaitu aqduzziwaji. Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun terjadinya
dengan persetujuan kedua beah pihak, akad nikah hanya dapat diakhiri dengan
jalan-jalan yang ditetapkan syari’at, seperti talak, khulu’, atau karena
keputusan hakim.
b.
Akad yang dapat dibatalkan atas
persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dsb.
c.
Akad yang dapat dibatalkan tanpa
menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, rahn dan kafalah merupakan
keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan keharusan
oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang
yang memegang tanggungan). Si murtahin boeh melepaskan rahn kapan
saja dia kehendaki.
d.
Akad yang dapat dibatakan tanpa
menunggu persetujuan pihak kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.
7.
Ditinjau dari segi tukar-menukar
hak. Dari segi ini akad dibagi dua:[15]
a.
Akad muawadhah yaitu
akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli,
sewa-menyewa, shulh, terhadap harta dengan harta.
b.
Akad tabarru’at yaitu
akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c.
Akad yang mengandung tabarru’ pada
permulaan tetapi menjadi muawadhah pada akhirnya, seperti qardh dan
kafalah. Qardh dan kafalah ini permulaannya tabarru’, tetapi
pada akhirnya menjadi muawadhah ketika si kafil meminta kembali
uangnya kepada si madin.
8.
Ditinjau dari segi waktu
berlakunya, terbagi dua yaitu:[16]
a.
Akad fauriyah yaitu
akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual
beli walaupun dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula shulh, qardh, dan
hibah. Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-masing pihak telah
menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
b.
Akad mustamirrah dinamakan
juga akad zamaniyah yaitu akadd yang pelaksanannya memerlukan waktu yang
menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya: ijrah, ‘ariyah,
wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan akad-akad ini adalah dengan
selesai digunakannya manfaat yang disewa, atau yang dipinjam atau dilaksanakan
tugas-tugas perkongsian.
9.
Ditinjau dari ketergantungan dengan
yang lain. Akad dari segi ini dibagi dua, yaitu:[17]
a.
Akad ‘asliyah yaitu akad
yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya jual
beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b.
Akad tabi’iyah yaitu akad
yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn
dan kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila tidak ada utang.
10.
Ditinjau dari segi maksud dan
tujuan yang akan dicapai. Akad dapat dibedakan menjadi beberapa macam:[18]
a.
Akad at-Tamlikiyah merupakan
akad yang bertujuan untuk kepemilikan. Objek kepemilikan dapat diwujudkan dalam
bentuk benda maupun manfaat. Misalnya jual beli, ijarah.
b.
Akad al-Isytirak merupakan
akad yang bertujuan melakukan kerjasama menjalankan suatu usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil. Termasuk dalam kategori ini adalah semua akad musyarakah
dan mudharabah, muzara’ah, musyaqah.
c.
Akad al-Ithlaq yaitu suatau
akad yang bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab kewenangan (tauliyah)
kepada orang lain. Misalnya, wakalah.
d.
Akad at-Tausiq yaitu akad
yang dimaksudkan untuk menanggung atau menjamin sesuatu yang menjadi kewajiban
pihak lain. Misalnya, kafalah, hawalah, dan rahn.
e.
Akad al-Hifdh yaitu akad
yang dimaksudkan untuk memelihara harta benda yang diamanahkan seseorang kepada
pihak lain. Misalnya wadi’ah.
11.
Ditinjau dari kompensasi akad yang
akan diperoleh, dibagi dua, yaitu:[19]
a.
Akad tabarru’ yaitu akad
yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridha dan
pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun
motif. Akad yang termasuk kategori ini adalah: hibah, waqaf, wasiat, dll.
b.
Akad Tijarah yaitu akad yang
dimaksudkan untik mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini
adalah: murabahah, salam, musyarakah, dll.
C. Perbedaan Wa’ad
dengan Akad
Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad
dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak
kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad
hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and
condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di lain pihak, akad mengikat kedua
belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan
spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua
pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[20]
pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.[20]
Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan sekilas mengenai akad tabarru’
dan tijarah, berikut ini akan dipaparkan lebih rinci mengenai dua akad
tersebut beserta contoh-contohnya.
1.
Akad tabarru’
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
not-for profit (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’
dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’
berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam
akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’
adalah dari Allah SWT., bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekedar
menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’
itu. [21]
Tetapi pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering
sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat
digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah.
Akad tabarru’
memiliki tiga bentuk, yaitu:[22]
a.
Meminjamkan uang: qard, rahn, dan
hiwalah.
b.
Meminjamkan jasa kita: wakalah,
wadiah, dan kafalah.
c.
Memberikan sesuatu: hibah,
hadiah, waqf, shadaqah, dll.
2.
Akad tijarah
Akad tijarah/mu’awadah adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mecari keuntungan, karena itu bersifat komersil. [23]
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah
dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Dalam NCC, kedua belah pihak saling
mempertukarkan asset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik
barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti baik
jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya. Jadi secara sunnatullah
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah: jual-beli (al-bai’, salam dan istishna’) dan sewa-menyewa
(ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi
saling mencampurkan asetnya (baik real assets mauun financial assets)
menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return),
baik dari segi jumlah maupun waktunya. Yang termasuk dalam kontak ini adalah
kontrak-kontrak investasi, seperti: musyarakah (inan, wujuh, abdan,
muwafadhah, dan mudharabah), muzara’ah, musaqah, dan mukhabarah.
[1] Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian
Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
et al., cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), 247
[2] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah
Kontekstual, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 75
[7] Abdoerrauf, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A
Comparative Study), (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), 122-123
[11] Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, cet. 3, Edisi 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 109
[20] Adimarwan A. Karim, Bank Islam: analisis
fiqih dan keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 65
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
ReplyDeletehingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
terimnakaeseeehh sudah berbagii
ReplyDeleteHubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
ReplyDeleteMenikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography.
Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.