Tradisi menutup kepala
dapat ditelusur dari bangsa Mesir Kuno yang memaknai rambut sebagai simbol
kekuatan, keagungan dan kebanggaan. Mereka senantiasa memotong rambut secara
total (botak) sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kepala
yang tanpa rambut rentan terhadap sengatan panas sehingga membuat mereka
menutupi kepalanya. Tradisi memotong rambut ini kemudian menyebar ke berbagai
pelosok dunia dan dicerna oleh peradaban yang saling berbeda termasuk Budha dan
Hindu.
Dalam tradisi Nasrani,
rambut tidak banyak dibahas. Mungkin karena ajaran Yesus lebih banyak
menekankan esensi keberagamaan dan bukan simbol, maka beliau lebih banyak
menekankan pada sentuhan hati dan nurani bukan pada bentuk dan penampilan.
Kendati demikian Paulus dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Corinthius
(Kitab 11: 4-14) pernah mengatakan sebagai berikut:
“Setiap laki-laki yang
bersembahyang atau bersuci hendaklah menutup kepalanya dengan sesuatu, demikian
juga dengan perempuan, hendaklah dia menutupinya. Sebab jika perempuan tidak
mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting rambutnya. Tetapi jika
bagi perempuan itu adalah penghinaan maka haruslah ia menudungi kepalanya?
Sebab, pantaskah seorang perempuan menyembah Tuhan dalam keadaan tidak bertutup
kepala?”
Nampaknya Paulus
terpengaruh tradisi masyarakat Romawi yang membolehkan laki-laki sembahyang
tanpa menutup kepala namun di sisi lain dia masih berpegang pada tradisi Yahudi
yang melarang perempuan menghadap Tuhan tanpa menutup kepala dengan kerudung
atau penutup lainnya.
Rambut perempuan dalam
pandangan Yahudi dan Nasrani, juga beberapa agama lain tidak dianggap aurat
tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dengan perspektif ini
tradisi menutup kepala bagi kaum perempuan dan laki-laki (dalam ajaran Yahudi)
dan bagi perempuan (dalam ajaran Nasrani) merupakan simbol kerendahan hati dan
ketundukan diri di hadapan Tuhan. Maka sampai sekarang kita masih melihat kaum
agamawan Yahudi dan Nasrani menutup kepala mereka saat bersembahyang. Dan
kalaupun tidak menutup kepala sebagai penggantinya mereka harus memotong rambut
sebagaimana dipraktekkan para agamawan Hindu dan Budha.
Sedangkan dalam ajaran
Islam, menutup kepala (terutama perempuan) dianggap oleh sebagian orang sebagai
kewajiban agama sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian dari
tradisi dalam berbusana (bukan kewajiban agama). Semasa Arab Jahiliyah, para
perempuan biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada
penutupnya. Imam Zarkasyi menguraikan bahwa para perempuan itu mengenakan
pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher
dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudungnya
ke arah belakang sehingga bagian muka kelihatan. Lalu turunlah ayat tentang khimar atau
kerudung:
“Wahai Nabi katakanlah
kepada perempuan mukmin agar menundukkan pandangan, menjaga kehormatan dan
tidak mempertontonkan perhiasan mereka kecuali yang sepantasnya tampak saja.
Dan hendaklah mereka menjumbaikan khimar (kerudung) ke dada..”. QS An-Nur/24:31
Ayat ini menganjurkan
agar lebih mengutamakan menutup dada sebagai ganti tradisi membiarkannya
terbuka, tanpa maksud menetapkan jenis busana tertentu. Inilah simbol pembeda
perempuan mukmin dan yang tidak.
Tradisi perempuan Arab
untuk bersenang-senang, membiarkan muka mereka terlihat seperti budak dan oleh
kondisi tertentu mereka membuang hajat di padang pasir, sebelum ada toilet di
perumahan. Beberapa laki-laki sering berlaku buruk dengan beranggapan kalau
mereka adalah budak dan sering menggunakan para perempuan itu untuk
kepentingan politik dengan cara melecehkannya. Lantaran merasa diganggu, mereka
melaporkan kepada Nabi. Lalu turunlah ayat ini untuk menjadi pembeda antara
perempuan mukmin merdeka dan budak.
“Wahai Nabi,
sampaikanlah kepada isteri-isterimu, putri-putrimu dan perempuan mukmin agar
merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka
untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk…”. QS Al-ahzab/33:59
Simbol pembeda ini
dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka lebih mudah dikenal
dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jilbab didefinisikan sebagai pakaian yang
lebih besar ketimbang khimar (kerudung) dan menutupi
tubuh (mantel). Sekarang, budak sudah dihapuskan sehingga rasanya
relevansi pembedaan itu sudah tidak diperlukan lagi.
@ArizaEkky